Me, Floating House - Lake of Tempe, Kab. Wajo
....aku mencoba memutar memori kisahku bersama alam selama ini. Selalu ada sudut-sudut bumi yang teramat sensual bagi orang-orang sepertiku dan beberapa teman yang katanya “anak alam” dan menyebut diri pecinta alam.
Selalu ada kebanggaan, mengalahkan lelah dan ego diri.
Itu bisa berupa puncak-puncak gunung yang menuding langit atau liang gua yang kelam, seperti ada makhluk menunggu kita di sana.
Atau tebing tegak lurus menawan seakan minta dijamah, jeram deras yang tak pernah bisa berkompromi.
Makin bergejolak ia, makin bergairahlah kita menyusurinya.
Atau angkasa yang tak bertepi?
Samudera yang dalam?
Ah, banyak sekali sudut-sudut dan bentang alam yang indah menawan, betapa beruntungnya manusia.
Selalu begitu, di setiap perjalanan, di setiap kelelahan jeda menuju klimaks, di situlah letak rasa itu.
Rasa yang... ah, sulit disimpulkan, tak ada kata yang dapat menyimpulkan perasaan itu.
Hanya ada gairah aneh saat energi itu kemudian akan menyusut lagi ditelan rutinitas kehidupan.
m
m
m
m
m
mm
m
m
m
m
Kak Butet Manurung and us, Floating House - Lake of Tempe, Kab. Wajo
Begitu seterusnya, berulang-ulang.
Foto-foto eksotis, cerita-cerita tentang heroisme,
bahwa kita adalah sekumpulan manusia unik, berani, kuat perkasa dan tahu apa yang terbaik buat diri kita, berani menjadi beda.
Pada saatnya nanti alam kembali memanggil, berbisik dan terus mengganggu.
Dan kita datang lagi,
mencumbuinya lagi,
terpuaskan lagi,
pulang lagi.
Seperti candu yang tak pernah selesai.
Seegois itukah aku?
Sesederhana itukah hidup?
Kalau hanya sesederhana itu,
maka sebutan yang paling tepat adalah penikmat alam!
Bukan “pecinta alam”.
m
m
dikutip dari "SOKOLA RIMBA" by Butet Manurung, page 6-9